Politik kanibal caleg 2009, neo-politik devide et impera

Semarak baliho dan poster-poster para caleg parpol bertebaran di pinggir jalan-jalan, perempatan, pertigaan, depan pasar, depan taman kota, depan kampus, dan juga rumah calegnya itu sendiri. Jumlahnya kian bertambah sebagaimana waktu pemilu legislatif 2009 semakin dekat pula. Ada orang yang berdecak kagum dengan keberadaan baliho-baliho atau poster tersebut, sambil nyeletuk “ wah habis duit berapa ya para caleg itu? Kalau ngiklannya makin banyak, korupsinya juga bakal makin banyak nih!”.
Ada juga yang senang karena mungkin salah satu poster yang terpampang adalah caleg jagoannya. Tapi ada juga yang buenci alias sebel karena menurutnya baliho caleg itu semakin merusak pemandangan kota, merusak lingkungan dan juga merusak kenyamanan. Saya sendiri relatif setuju dengan yang buenci itu tadi, keberadaan baliho-baliho itu rata-rata tidak sedap dipandang. Belum lagi konten kata-kata propaganda yang dilontarkan, yang menurutku membodohi dan tidak mendidik, ada yang “Tegakkan kebenaran-lah”, ada yang “iki lho caleg dulur dhewe”, ada yang “timbang mumet, mending pancet”, ada yang “Kami beri bukti, bukan janji”, ada yang cucu, putra, putri atau keponakan ulama-lah, bahkan yang paling lucu “Jeritan rakyat harus dijadikan dasar kebijakan untuk mengangkat nasib rakyat kecil”. Onok-onok ae wong-wong iku...
Apa boleh buat, itulah caleg. Seribu janji kau tebarkan, sejuta ingkar kau laksanakan. Dinamika sistem demokrasi di negara kita ini boleh dibilang cukup menarik atau mungkin sangat menarik. Sejak Reformasi 1998, sistem demokrasi dan perpolitikan negeri zamrud katulistiwa ini terus bergeliat. Sebagaimana yang bisa kita lihat sekarang, Indonesia yang baru 64 tahun merdeka sudah muncul sebagai negara dengan sistem pilpres langsung yang bener-bener langsung-sung. Benar-benar luar biasa. Ke-demokrasi-an negara ini makin menjadi dengan dikeluarkannya keputusan MK yang mengabulkan gugatan uji materiil atas Pasal 124 huruf a, b, c, d dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu. Dengan demikian, penetapan caleg terpilih pada Pemilu 2009 tidak lagi memakai sistem nomor urut dan digantikan dengan sistem perolehan suara terbanyak. Rata-rata sih kalau saya amati dari statemen-statemen (opo se statemen..? ) para caleg pada tidak setuju dengan keputusan MK tersebut. Tapi siapa sih di negeri ini yang bisa membatalkan keputusan MK? Dampak keputusan ini bisa kita saksikan sekarang ini. Poster, baliho, iklan TV, iklan koran para caleg parpol “GENTAYANGAN” menghantui masyarakat. Para caleg tersebut berupaya keras agar rakyat kenal dan simpatik (bukan Mentarik atau IM3ik, he...) terhadap pencalonan mereka. Logika nomor jadi seorang caleg, boleh dikata tidak berlaku lagi.
Jika dulu sebelum keputusan MK, para caleg biasanya “hanya” saling menjelekkan atau men-demarketing caleg dari parpol lain. Sekarang semua berubah. Karena harus meraup suara sebanyak-banyaknya di suatu dapil, seorang caleg pun tega menjelek-jelekkan rekan caleg se-parpol. Saya menyebut fenomena ini sebagai “politik kanibal” dari para caleg. Kanibal banyak juga dikenal di dunia hewan terutama peternakan, seperti pada ayam pedaging, ayam petelur yang kadang mematuki badan atau telur sendiri dan “rekan sesama ayamnya” hingga luka-luka dan bahkan mati. Demikian juga dengan fenomena politik kanibal para caleg tersebut. Para caleg itu saling mematuk caleg parpol lain sembari mematuk caleg rekan sesama ayamnya, eh sori, maksudnya sesama parpolnya. Teman-teman tau tidak fenomena ini mirip dengan fenomena apa? Yup, anda benar.. fenomena politik kanibal ini mirip dengan fenomena politik adu domba VOC terhadap kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara dulu. Jika demikian, apakah keputusan MK tersebut juga bagian dari neo-politik devide et impera negara imperialis modern?..Nah..

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...