Kalau kita mengingat bagaimana dahulu Islam ini didakwahkan oleh generasi pendakwah pertama di tanah Nusantara, tentunya kita akan cenderung banyak bertanya, metode apa yang diterapkan oleh para pendakwah kala itu terhadap masyarakat yang rata-rata masih menganut aliran kepercayaan animisme/dinamisme dan agama hindu dan budha?.
nda mengenal sejarah Walisongo dalam mendakwahkan Islam di tanah Jawa? Setidaknya sedikit dalam satu versi yang diketahui oleh banyak orang sekarang ini. Apa yang menjadi kata kunci dalam gerakan dakwah Walisongo kala itu?Benar!, Asimilasi. Setidaknya itu yang paling banyak dilontarkan para ahli sejarah di Indonesia. Asimilasi, sebuah langkah dakwah menanamkan nilai tauhid dan syariat dalam kehidupan dengan menggunakan instrumen kebudayaan atau kultur kehidupan masyarakat Jawa saat itu.
Salah satu bentuk kultur yang dimanfaatkan oleh para da’i ini adalah kesenian gamelan, wayang dan lagu-lagu dolanan. Kita mengenal kesenian wayang kulit Purwa yang merupakan buah kreatifitas Sunan Kalijogo dalam berdakwah di kalangan masyarakat Mataram Hindu. Sunan Kalijogo dalam kesenian wayang kulit, selain menghadirkan tokoh-tokoh wayang Mahabarata versi Hindu seperti Pandawa dan Kuarawa, juga menambahkan beberapa tokoh seperti Punakawan (Semar, Bagong, Petruk, Gareng), Limbuk dan satu jenis jimat (azimat) ampuh bernama Kalimasada (dari kata Kalimah Syahadatain). Bahkan masyarakat kala itu jika ingin menikmati pertunjukan wayang beliau, diharuskan mengucapkan Kalimah Syahadatain sebagai karcis masuk. Subhanallah! Sebuah langkah dakwah yang strategis, efektif dan massif karena masyarakat Mataram Hindu kala itu hobi banget dengan pertunjukan wayang.
Kita juga mengenal Sunan Ampel yang membuat lagu dolanan Lir-ilir dan lagu Tombo Ati yang sekarang sudah menjadi lagu religi dan nasyid yang paling hit di negeri ini. Sunan Ampel mengenalkan kaidah rukun Islam melalui simbol buah belimbing dan kaidah kepemimpinan umat dalam simbol cak angon dalam lagu Lir-ilir. Lagu Tombo Ati dikenalkan sebagai sebuah produk dakwah yang mengajarkan lima langkah sederhana namun dalam, untuk menempuh hidup yang diridhoi Allah SWT. Sunan Ampel nampaknya juga menyadari realitas kondisi obyek dakwah saat itu yang sangat menyukai lagu-lagu atau nyanyian ndeso.
Nah bagaimana dengan realitas kondisi dakwah sekarang ini? Pada dasarnya jika anda amati maka tidak akan jauh berbeda antara realitas masyarakat di zaman Walisongo dengan zaman kita sekarang. Masyarakat saat ini pun memiliki kecenderungan terhadap produk-produk seni seperti film, sinetron, lagu, games outbond, puisi, sajak, novel dsb. Artinya realitas dakwah saat ini juga adalah tentang ”hobi” masyarakat dalam hal keindahan. Ustadz Anis Matta dalam ceramahnya ” Manhaj Dakwah” menyampaikan penting estetika sebagai bagian dari kombinasi dakwah ini. Masalahnya sekarang seberapa jauh kita memandang urgensi estetika atau kesenian sebagai bagian dari manhaj gerakan dakwah agar Islam tidak hanya menegara, tapi juga membumi di bumi zamrud Katulistiwa ini?
Gerakan dakwah Islam sesungguhnya sudah kecolongan dengan bermunculannya produk-produk seni dari kelompok agama lain. Kita mengenal kartun-kartun Walt Disney dan Warner Bross seperti Donal Bebek, Mickey Mouse, Pluto, Guffi, Putri Salju dan 7 Kurcaci, Bugs Bunny, Daffy Duck, Road Runner atau kartun MGM seperti Tom and Jerry. Dan tentunya anda tidak akan menemui kartun-kartun tersebut pernah ditayangkan dalam rangka menyambut Lebaran, tetapi menyambut Natal dengan simbol-simbol pohon Natal dan Sinterklas. Tidak ada namanya Donald Bebek mengajak anak-anak kecil penggemarnya untuk merayakan Idul Fitri, yang ada ya merayakan Natal dengan segenap kegembiraan. Ini artinya gerakan agama lain telah jauh-jauh hari menyadari dan menyikapi urgensi estetika dalam mengkomunikasikan ”inti agama” kepada masyarakat dunia secara efektif dan massif. Bahkan tidak hanya dari kelompok Nasrani yang menggunakan produk estetika dalam mempropagandakan agama mereka, kelompok pendukung paham-paham tertentu seperti atheis dan sosialis juga telah memanfaatkan media estetika dalam mempropagandakan ide mereka. Hasan Al Banna dalam salah pernyataannya di buku ” Risalah Pergerakan” mengatakan ”Sarana-sarana propaganda saat ini pun berbeda dengan sebelumnya. Kemarin, propaganda disebarkan melalui khutbah, pertemuan atau surat menyurat. Tapi sekarang seruan atau propaganda kepada isme-isme itu disebarkan melalui penerbitan majalah, koran, film, panggung teater, radio dan media-media lain yang beragam. Sarana-sarana itu telah berhasil menembus semua jalan menuju akal dan hati khalayak, baik pria maupun wanita, di rumah-rumah, di toko-toko, di pabrik-pabrik, bahkan di sawah-sawah mereka”.
Meski sedikit jauh tertinggal, beberapa kelompok gerakan dakwah Islam juga mulai mengejar ketertinggalannya. Sebuah gebrakan baru dalam me-refresh gerakan dakwah Islam kontemporer di negara ini melalui jalur kesenian telah mulai dilakukan seperti bermunculannya lagu-lagu nasyid yang dibawa oleh generasi muda negeri ini. Pertama kali kita mengenal nasyid dari Malaysia yang dibawa oleh Raihan, selanjutnya kita mengenal Shoutul Harokah, Justice Voice, Tazakha, The Fikr dsb. Saat ini juga sudah bermunculan kartun anak-anak, salah satunya yang sangat terkenal adalah film Upin dan Ipin yang digarap dengan apik oleh para pekerja dakwah sekaligus seniman dari Malaysia.
Dakwah saat ini membutuhkan lebih dari sekedar ceramah dan khutbah dalam mempropagandakan inti ajaran agama, namun juga membutuhkan sisi estetika yang lebih mudah diterima dan dicerna oleh masyarakat pada umumnya. Pemaksaan komunikasi dakwah agama hanya melalui ceramah-ceramah, kelompok-kelompok kajian, buku atau kegiatan lain yang mungin dinilai eksklusif oleh masyarakat kita akan menjadi langkah kontraproduktif. Musuh dakwah ini sudah sedemikian gencarnya memanfaatkan estetika sebagai kanal propaganda yang paling efektif, maka jika tidak ingin kalah sudah seharusnya gerakan dakwa Islam juga memanfaatkan kanal ini. Saya tutup tulisan ini dengan sebuah hadist yang diriwayatkan Abu Musa r.a. ” Rasulullah SAW setiap kali mengutus seorang dari sahabatnya untuk suatu urusan, beliau bersabda, ”Berilah berita gembira dan jangan membuat orang lari, permudah dan jangan mempersulit”.
Salah satu bentuk kultur yang dimanfaatkan oleh para da’i ini adalah kesenian gamelan, wayang dan lagu-lagu dolanan. Kita mengenal kesenian wayang kulit Purwa yang merupakan buah kreatifitas Sunan Kalijogo dalam berdakwah di kalangan masyarakat Mataram Hindu. Sunan Kalijogo dalam kesenian wayang kulit, selain menghadirkan tokoh-tokoh wayang Mahabarata versi Hindu seperti Pandawa dan Kuarawa, juga menambahkan beberapa tokoh seperti Punakawan (Semar, Bagong, Petruk, Gareng), Limbuk dan satu jenis jimat (azimat) ampuh bernama Kalimasada (dari kata Kalimah Syahadatain). Bahkan masyarakat kala itu jika ingin menikmati pertunjukan wayang beliau, diharuskan mengucapkan Kalimah Syahadatain sebagai karcis masuk. Subhanallah! Sebuah langkah dakwah yang strategis, efektif dan massif karena masyarakat Mataram Hindu kala itu hobi banget dengan pertunjukan wayang.
Kita juga mengenal Sunan Ampel yang membuat lagu dolanan Lir-ilir dan lagu Tombo Ati yang sekarang sudah menjadi lagu religi dan nasyid yang paling hit di negeri ini. Sunan Ampel mengenalkan kaidah rukun Islam melalui simbol buah belimbing dan kaidah kepemimpinan umat dalam simbol cak angon dalam lagu Lir-ilir. Lagu Tombo Ati dikenalkan sebagai sebuah produk dakwah yang mengajarkan lima langkah sederhana namun dalam, untuk menempuh hidup yang diridhoi Allah SWT. Sunan Ampel nampaknya juga menyadari realitas kondisi obyek dakwah saat itu yang sangat menyukai lagu-lagu atau nyanyian ndeso.
Nah bagaimana dengan realitas kondisi dakwah sekarang ini? Pada dasarnya jika anda amati maka tidak akan jauh berbeda antara realitas masyarakat di zaman Walisongo dengan zaman kita sekarang. Masyarakat saat ini pun memiliki kecenderungan terhadap produk-produk seni seperti film, sinetron, lagu, games outbond, puisi, sajak, novel dsb. Artinya realitas dakwah saat ini juga adalah tentang ”hobi” masyarakat dalam hal keindahan. Ustadz Anis Matta dalam ceramahnya ” Manhaj Dakwah” menyampaikan penting estetika sebagai bagian dari kombinasi dakwah ini. Masalahnya sekarang seberapa jauh kita memandang urgensi estetika atau kesenian sebagai bagian dari manhaj gerakan dakwah agar Islam tidak hanya menegara, tapi juga membumi di bumi zamrud Katulistiwa ini?
Gerakan dakwah Islam sesungguhnya sudah kecolongan dengan bermunculannya produk-produk seni dari kelompok agama lain. Kita mengenal kartun-kartun Walt Disney dan Warner Bross seperti Donal Bebek, Mickey Mouse, Pluto, Guffi, Putri Salju dan 7 Kurcaci, Bugs Bunny, Daffy Duck, Road Runner atau kartun MGM seperti Tom and Jerry. Dan tentunya anda tidak akan menemui kartun-kartun tersebut pernah ditayangkan dalam rangka menyambut Lebaran, tetapi menyambut Natal dengan simbol-simbol pohon Natal dan Sinterklas. Tidak ada namanya Donald Bebek mengajak anak-anak kecil penggemarnya untuk merayakan Idul Fitri, yang ada ya merayakan Natal dengan segenap kegembiraan. Ini artinya gerakan agama lain telah jauh-jauh hari menyadari dan menyikapi urgensi estetika dalam mengkomunikasikan ”inti agama” kepada masyarakat dunia secara efektif dan massif. Bahkan tidak hanya dari kelompok Nasrani yang menggunakan produk estetika dalam mempropagandakan agama mereka, kelompok pendukung paham-paham tertentu seperti atheis dan sosialis juga telah memanfaatkan media estetika dalam mempropagandakan ide mereka. Hasan Al Banna dalam salah pernyataannya di buku ” Risalah Pergerakan” mengatakan ”Sarana-sarana propaganda saat ini pun berbeda dengan sebelumnya. Kemarin, propaganda disebarkan melalui khutbah, pertemuan atau surat menyurat. Tapi sekarang seruan atau propaganda kepada isme-isme itu disebarkan melalui penerbitan majalah, koran, film, panggung teater, radio dan media-media lain yang beragam. Sarana-sarana itu telah berhasil menembus semua jalan menuju akal dan hati khalayak, baik pria maupun wanita, di rumah-rumah, di toko-toko, di pabrik-pabrik, bahkan di sawah-sawah mereka”.
Meski sedikit jauh tertinggal, beberapa kelompok gerakan dakwah Islam juga mulai mengejar ketertinggalannya. Sebuah gebrakan baru dalam me-refresh gerakan dakwah Islam kontemporer di negara ini melalui jalur kesenian telah mulai dilakukan seperti bermunculannya lagu-lagu nasyid yang dibawa oleh generasi muda negeri ini. Pertama kali kita mengenal nasyid dari Malaysia yang dibawa oleh Raihan, selanjutnya kita mengenal Shoutul Harokah, Justice Voice, Tazakha, The Fikr dsb. Saat ini juga sudah bermunculan kartun anak-anak, salah satunya yang sangat terkenal adalah film Upin dan Ipin yang digarap dengan apik oleh para pekerja dakwah sekaligus seniman dari Malaysia.
Dakwah saat ini membutuhkan lebih dari sekedar ceramah dan khutbah dalam mempropagandakan inti ajaran agama, namun juga membutuhkan sisi estetika yang lebih mudah diterima dan dicerna oleh masyarakat pada umumnya. Pemaksaan komunikasi dakwah agama hanya melalui ceramah-ceramah, kelompok-kelompok kajian, buku atau kegiatan lain yang mungin dinilai eksklusif oleh masyarakat kita akan menjadi langkah kontraproduktif. Musuh dakwah ini sudah sedemikian gencarnya memanfaatkan estetika sebagai kanal propaganda yang paling efektif, maka jika tidak ingin kalah sudah seharusnya gerakan dakwa Islam juga memanfaatkan kanal ini. Saya tutup tulisan ini dengan sebuah hadist yang diriwayatkan Abu Musa r.a. ” Rasulullah SAW setiap kali mengutus seorang dari sahabatnya untuk suatu urusan, beliau bersabda, ”Berilah berita gembira dan jangan membuat orang lari, permudah dan jangan mempersulit”.
0 comments:
Post a Comment