Kehidupan masyarakat pemulung di TPA Urang Supit, Kota Malang

Sebuah sms masuk ke hp ku dan ternyata ajakan mendadak, kurang lebih begini smsnya ” Akh kelompok kami akan melakukan penelitian di TPA (Tempat Pembuangan Akhir, bukan Taman Pendidikan Al Quran lo ya..)
Urang Supit besok, mengenai kehidupan pemulung, sesuai survey Akh Azhar disarankan kalau kesana dibutuhkan tambahan ikhwan yang mengantarkan, bagaimana?”. Well, dengan cukup berat hati (tapi insya Allah ikhlas ) berangkatlah diriku ini menuju suatu lokasi yang saya kira tidak mungkin banyak disukai orang, terutama di masa-masa weekend (kalo Patrick ga tau saya he...he...).
Perjalanan dengan menggunakan sepedah montor (sepeda motor) sejauh 8 kilometer lebih atau menempuh waktu sekitar 20 menit arah Mulyorejo, dari perempatan pom bensin Sukun belok kanan. Setiba di lokasi, rombongan peneliti dadakan ini disambut dengan senyuman anjing-anjing kampung yang berkeliaran serta tumpukan sampah yang baunya ya ampuunn....subhanallah..!! He...he....he....luar biasa.

Ide awal penelitian ini adalah berkisar mengenai posisi pemulung sebagai bagian dari anggota masyarakat di Kota Malang yang boleh dibilang ”termarjinalkan” dari anggota masyarakat lain. Istilah pemulung bagi sebagian besar masyarakat kita selalu dikesankan dengan ”kotor, bau, miskin, rawan penyakit dll” dan sebagian besar mahasiswa ”sinterklas pengambil sandal dan sepatu’ he..he...(pengalaman pribadi). Tapi memang demikianlah realitas yang ada di pikiran masyarakat kita. Ide selanjutnya adalah mengenai bagaimana sampah-sampah yang dikumpulkan dari beberapa titik di kota Malang tersebut diolah, berapa jumlah sampah yang datang tiap harinya dan bagaimana dampaknya bagi lingkungan sekitar TPA tersebut.
Kita mulai cerita petualangan akhir pekan ini dari sebuah gubuk reyot diantara sampah yang berserakan. Disitu ada seorang ibu dan putrinya yang baru berusia sekitar 6-7 tahun. Nama anak itu Aisha kalau ndak salah ( wah apakah ini calon istrinya Fahri kelak? He..he..). Di gubuk reyot tersebut yang saya kira rumah mereka dan ternyata dugaan saya salah besar (afwan... :)) terdapat sebuah sepeda motor milik ibu pemulung tadi disembunyikan. Tak berapa lama kemudian muncul bunyi ringtone sebuah HP yang ternyata membuat rombongan peneliti dadakan ini cukup kaget dan tentunya sedikit tersenyum, he...he....zaman makin canggih aja. Kalau dulu bunyi HP cuma ada di perkantoran, sekarang di TPA juga ada yang make HP. Ini juga salah bukti kebesaran dan kasih sayang Allah SWT kepada makhlukNya, zaman sekarang siapapun berhak menggunakan HP apapun status kelas sosialnya. Jadi jangan meremehkan orang dari penampilan saja. Kalo kata teman saya ” Don’t asses the book from it’s cover”, tapi kalau kata saya pribadi ” don’t be too much..” he…he…,pis!.
Nah cukup bercandanya. Dari keterangan yang didapat, di lokasi TPA Urang Supit terdapat sekitar 302 pemulung dari berbagai wilayah, tidak hanya dari local Malang tapi juga masyarakat dari Kediri dan Pasuruan. Setiap pemulung di TPA Urang Supit memiliki KTA (Kartu Tanda Anggota) sebagai bukti resmi keanggotaan pemulung di TPA Urang Supit. Bahkan kata bapak Pandri salah satu pemulung disana, paguyuban pemulung ini sudah tertata rapi keorganisasiannya, punya Ketua dan Sekjen segala. Kayak parpol ya?! He… Sampah yang datang di TPA ini sangat beraneka ragam, mulai dari sampah logam, plastic, kertas dan sampah organic. Sampah yang dipunguti oleh para pemulung ini hanya sampah logam, kertas dan plastic yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi untuk dijual ke penampung yang akan mengirimkan ke pabrik daur ulang. Sampah plastic yang memiliki nilai ekonomis paling tinggi adalah bekas botol atau gelas minuman mineral sejenis Aqua dengan nilai jual sekitar Rp. 2000/kg. Salah satu pemulung menuturkan pendapatan sehari per pemulung berkisar antara Rp. 20.000,00-Rp.40.000,00. Pendapatan yang lumayan kalau menurut saya, pantas saja bisa punya sepeda motor dan HP ( he…he…). Sedangkan sampah organic dibiarkan begitu saja membusuk sampai menjadi kompos. Dampaknya bagi lingkungan sekitar nampaknya cukup terasa rusaknya, meski ini perlu dibuktikan oleh para peneliti lingkungan. Meski demikian di TPA Urang Supit terdapat tiga kolam bertingkat untuk menampung limbah cair sebelum dibuang ke sungai,
Disini kalau saya simpulkan pengelolaan sampah yang di TPA Urang Supit mengandalkan peran pemulung yang secara langsung melakukan pemilahan sampah berdasarkan nilai ekonomisnya. Dengan demikian Pemkot Kota Malang tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk mengelola sampah yang jumlahnya bisa ratusan bahkan ribuan ton tiap minggunya.
Nah bagaimana dengan kehidupan para pemulung disana? Kalau anda mengira dengan setiap hari bekerja dengan memunguti sampah membuat mudah terserang penyakit, maka anda akan cukup kaget bahwa ada lebih dari satu pemulung di lokasi TPA yang menyatakan pekerjaan mereka tidak memberikan dampak merugikan bagi mereka, dalam hal ini penyakit. Apakah itu TBC, pes, sesak nafas dsb, tapi kalau penyakit kulit mungkin kali ya..? he….he…Bagi mereka dengan beraktivitas yang luar biasa berat tersebut, menjadikan tubuh mereka makin sehat dan cukup resisten terhadap penyakit. Jadi maksudnya kayak ikut fitness tiap hari, jadi daya tahan tubuhnya kuat, hmm masuk akal juga.
Ibu dik Aisha yang juga salah satu pemulung menuturkan bahwa pekerjaan memunguti sampah ini sudah sangat lama dilakukan dan menjadi mata pencaharian utama. Mayoritas mereka menyatakan tidak begitu perduli dengan anggapan masyarakat mengenai pekerjaan mereka. Mungkin para pemulung tersebut berprinsip asalkan hasilnya halal, meski harus memungut sampah maka tidak menjadi masalah. Subhanallah, beda banget dengan para koruptor negara ini yang mengais uang rakyat dengan cara yang tidak halal. Huh..!
Dan pada akhirnya kami mengakhiri penelitian lapang kami dan beranjak ke kantor Dinas Pengelolaan Sampah Kota Malang (bener ga?) yang berada tidak jauh dari titik pengamatan kami. Saya belum tau data selengkapnya dari hasil wawancaranya karena tidak ikut masuk. Setelah itu berakhir lah penelitian ini, saya legaaaa banget terbebas dari bau sampah yang ndak sedep banget dan bisa kembali ke peradaban Kota Malang.

1 comments:

  1. Mo numpang tanya Mas..
    Kalo mo ke supit urang masuk ke lokasi TPA supit urang harus bawa surat pengantar dari BARESBANG MALANG KOTA ya??

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...